Wafey Nafla. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Dulu Mimpi, Kini Tak Lagi

Foto nanti mau diapakan?” tanya saya kepada salah seorang panitia yang tengah bekerja menyiapkan venue(tempat acara) Uluslararasi Hilafet Konferansi atau Konferensi Khilafah Internasional dengan tema “Hilafet Hayal Mi, Yakin Bir Gelecek Mi (Khilafah – Fiction or Near Future)”, pada 6 Maret lalu di Attaturk Sport Center, Ankara, Turki. Foto yang saya maksud adalah foto besar Kemal Pasha, berdampingan dengan Bendera Turki bergambar bintang bulan sabit putih berlatar merah, yang tergantung di langit-langit stadion tempat acara. Karena besar ukurannya, kedua gambar itu terlihat sangat mencolok. Tergelitik saya untuk bertanya “nasib” kedua gambar itu nantinya.
Malam itu, sebelum besok acara berlangsung, saya bersama pembicara lain, seperti Syaikh Issam Ameera dari Palestina, Ismail Wahwah dari Australia serta Osman Bakhach, Direktur CMO, memang diundang panitia untuk melihat tempat acara. Pembicara lain dalam konferensi itu adalah Fazil Hamzayev, Kepala Kantor Media HT Ukraina, Mulay Jaw dari Denmark, Muhammed Abdullaev dari Kyrgyzstan and Mikail Romaniko dari Rusia.
“Nanti akan kita tutup dengan al-Liwa dan ar-Raya,” jawab salah seorang panitia singkat dengan bahasa sekenanya ditambah dengan gerak-gerak tangan untuk menjelaskan. Bahasa memang problem besar di Turki. Sangat sedikit yang mengerti bahasa Inggris, pun begitu bahasa Arab. Saat itu di deretan panggung tempat duduk memang terlihat ada sepasang al-Liwa dan ar-Raya ukuran besar yang tergeletak tepat di bawah kedua foto tadi. Tak lama kemudian, ada dua orang petugas yang bergelantungan di ketinggian menarik-narik al-Liwa dan ar-Raya. Tak butuh lama, akhirnya al-Liwa dan ar-Raya itu tepat menutupi kedua foto itu. Saya sempat ikut sedikit memberikan aba-aba untuk mengepaskan di posisinya.
“Apa nanti tidak masalah?” tanya saya kepada dia.
“Insya Allah, tidak,” jawabnya mantap. “Memang 10 tahun lalu, hal seperti ini, termasuk mengadakan kegiatan besar bertema Khilafah di tempat ini, adalah mimpi. Sekarang tidak,” jelasnya. “Kita bahkan mendapat dukungan kuat dari aparat keamanan. Lihat saja, mereka ikut mengamankan acara ini.”
Alhamdulillah, Konferensi Khilafah Internasional yang diikuti oleh sekitar 5000 peserta dari Turki dan dari berbagai negara seperti Rusia, Ukraina, Kyrgistan, Tajikistan, Uzbekistan, Syria, Palestian, Jordan, Aljazair, Jerman, Denmark, Swedia, UK dan lainnya itu berjalan lancar dan sukses. Peserta yang memadati tempat acara sangat antusias mengikuti acara hingga akhir.
Selain Konferensi Khilafah Internasional, seperti tahun sebelumnya, bertepatan dengan momen keruntuhan Khilafah 92 tahun lalu, pada 3 Maret, HT Turki juga mengadakan Uluslararasi Hilafet Sempozyumu (Simposium Khilafah Internasional) bertema “Nasil Bir Hilafet (Khilafah Seperti Apa?)”. Kegiatan yang diadakan di sebuah hotel di kawasan Topkap, Istanbul, ini mendapatkan perhatian yang sangat besar dari berbagai kalangan seperti media, perwakilan LSM, para akademisi, penulis dan jurnalis. Peserta datang dari berbagai negara seperti Ukraina, Rusia, Uzbekistan, Kyrgistan, Tajikistan, Syria, Palestina, Aljazair, UK, Denmark, Swiss, Belgia, Jerman dan lainnya.
Simposium dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama dengan empat pembicara, yakni Mustafa Ozcan, wartawan dan penulis, yang berbicara tentang “Status Umat Islam Setelah Tanggal 3 Maret 1924 dan Khilafah Yang Kedua”; Dr. Mehmet Kursat Atalar, penulis, tentang ”Apakah Negara Diperlukan untuk Hidup Islam?; M. Ismail Yusanto, Direktur Shar’iah Ekonomi & Management (SEM) Institute, menjelaskan “Pentingnya Khilafah bagi Umat Islam”; M. Hanefi Yagmur, anggota Komite Kontak Hizbut Tahrir Wilayah Turki, menjelaskan “Khilafah – Lembaga Sejarah atau Syariah”.
Sesi kedua membahas topik “Khilafah Seperti Apa yang Menjadi Tuntutan Umat?” oleh Selahattin Yazici, Presiden Kehormatan dari TIYEMDER, yang menjelaskan “Apakah Kontroversi Umat Islam Menjadi  Kendala Atas Persatuan?”; Abdulkadir SEN dari Institut Penelitian Timur Tengah, Universitas Marmara, menjawab pertanyaan, ”Mengapa Barat Berdiri Menentang Islam dan Kebangkitan Khilafah?”; Dr. Muhammad Malkawi, Dekan Fakultas Teknik, Universitas Jadara, Yordania, menjelaskan “Kebangkitan Kembali Khilafah:  Perkara Syariah yang Tidak Terelakkan dan Merupakan Realitas Politik”; Abdurrahim SEN berbicara tentang “Pemerintahan yang Sah Menurut Islam, Khilafah Rasyidah ala Minhajin Nubuwah”. Selain itu, wartawan dan penulis Ahmet Varol, Imam dan Dosen Syaikh Issam Ameera dari al-Quds, Palestina dan Fazl Hamzayev, Kepala Kantor Media Hizbut Tahrir Ukraina juga memberikan sambutan.
Seperti halnya Konferensi di Ankara, acara Simposium di Istanbul ini juga berjalan dengan lancar dan sukses. Acara ini mendapatkan perhatian yang  sangat besar dari berbagai kalangan seperti media, perwakilan LSM, para akademisi, penulis dan jurnalis. Beberapa tahun lalu acara-acara seperti ini hanya mimpi. Jangankan menyelenggarakan acara besar, sekadar membagikan nasyrah atau selebaran pun langsung ditangkapi polisi. Sekarang tidak lagi.
++++
Apa yang disampaikan kawan kita dari Turki itu menarik dicermati. Dia tengah berbicara tentang fakta, bahwa dengan dakwah semua bisa berubah. Apa yang dulu tidak mungkin, seperti penyelenggaraan kegiatan besar bertema Khilafah di Turki, termasuk menutup foto besar Kemal Pasha, kini menjadi mungkin. Bahkan acara besar itu diadakan di tempat yang letaknya hanya selemparan batu dari Gedung Parlemen yang dulu, 92 tahun lalu, menjadi tempat Kemal Pasha meng-abolish Khilafah. Intinya, melalui dakwah yang dulu hanya mimpi, sekarang tidak lagi.
Dakwah bukan hanya mengubah keadaan di Turki, tetapi di semua tempat di muka bumi ini. Pasalnya, substansi dakwah dimanapun sama, yakni menanamkan akidah, membentuk syakhsiyyah atau kepribadian Islam, mendorong ketaatan pada syariah dan menggerakkan dakwah bagi tegaknya kehidupan Islam. Yang menjadi obyek dakwah juga sama, yakni manusia yang berakal, bahkan sebagiannya sudah menjadi Muslim sejak lama. Oleh karena itu, sesungguhnya perubahan yang dihasilkan oleh dakwah hanyalah soal waktu. Artinya, bila kita menjalankan dakwah dengan ide (fikrah) dan metode (tharîqah) yang benar, insya Allah akan menghasilkan perubahan. Perubahan itulah yang membuat yang dulu tidak mungkin menjadi mungkin; yang dulu hanya mimpi kini menjadi kenyataan. Begitu seterusnya.
Di Indonesia juga begitu. Dulu tak terbayang kita bisa memenuhi Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Jangankan tempat sebesar itu, yang bisa menampung 100.000 orang, pada awal-awal dulu dalam satu acara bisa menghadirkan ratusan peserta saja sudah bagus. Namun kini, itu semua bisa terjadi. Bahkan sekarang kita justru kesulitan mencari tempat yang bisa menampung peserta lebih dari 100.000 karena memang tidak tersedia. Dulu juga tak berbayang dakwah untuk tegaknya syariah dan Khilafah tersebar ke seluruh Indonesia. Jangankan tersebar ke seluruh Indonesia, di Jawa pun tidak. Kini, hampir tidak ada propinsi, bahkan kota dan kabupaten, yang tak tersentuh dakwah ini.
Bila sekarang masih sulit membayangkan tegaknya syariah dan Khilafah melalui thalab[un]-nushrah, karena bagaikan mimpi, maka suatu saat nanti, melalui dakwah yang terus dilakukan secara konsisten, hal itu akan terwujud. Insya Allah. Mengapa tidak? [HM Ismail Yusanto]
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Rekayasa Sejarah dan Mitos Tentang Kartini

Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS -Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh.

VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.


Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam.

Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.

Oleh: Dr. Adian Husaini
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sebaik-baik ULAMA


قَالَ الحَسَنُ البَصْرِي: أَحْسَنُ ‏الْعُلَمَاءِ‬‬ عِلْمًا مَنْ أحْسَنَ تَقْدِيْر مَعَاشِهِ وَمَعَادِهِ تَقْدِيْرًا لاَ يُفْسِدُ عَلَيْهِ وَاحِدًا مِنْهُمَا بِصَلاَحِ الآخَرِ، فإنْ أَعْيَاهُ ذلِكَ رَفَضَ الأَدْنَى، وآثَرَ الْأَعْظَمَ.
Hasan Al Bashriy berkata: “Sebaik-baiknya  keilmuan seorang ulama adalah dia yang terbaik dalam  –memberikan  kadar maisyah  –untuk kehidupan dunianya dan   akhiratnya–. Porsi keduanya itu tidak dirusak dengan kebaikan yang lain.  Namun jika yang demikian cukup melelahkannya, maka sejatinya ia meninggalkannya  yang terendah (yakni dunia). Dan lebih mengutamakan yang agung (yakni akhirat).
جوامعِ الكَلِمِ ونَفَائِسِ الحِكَمِ مِن كِتَابِ المجالسةِ وجَواهرِ العِلْمِ.
*****
Dari kalimat ini kita bisa memahami bahwa ulama yang terbaik –dalam pandangan Hasan Al Bashri– adalah ia yang terbaik dalam memberikan porsi untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhiratnya. Artinya bahwa ia memberikan dunianya –di mana ia hidup– sesuai dengan kadarnya dan tidak memberikan kadar yang berlebihan dari keperluan hidupnya. Hal demikian sesuai dengan Firman Allah SWT:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al Qashash 77)
Demikian juga, dia akan memberikan porsi kehidupan akhiratnya sebagaimana sesuai dengan hak-nya. Tidak menguranginya, dan tidak lebih mengutamakan kehidupan dunia atas kehidupan akhirat. Karena hal demikianlah yang dinyatakan oleh Al Qur’an.
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَىٰ
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)” (Ad Dhuha 4)
Demikian pula Firman Allah SWT,
رَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ
“Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (At Taubah 38)
Karenanya, sebaik-baiknya ulama adalah dia yang memberikan kadar dunia dan akhirat dengan porsi yang terbaik. Dia tidak akan merugikan salah satunya. Dia tidak akan merugikan dunianya untuk kepentingan akhirat, demikian pula  dia tidak akan mementingkan dunia jika merugikan kepentingan akhiratnya.
Namun jika kedua hal tersebut dirasa sangat sulit dan sangat melelahkannya, ia harus mengalahkan yang dekat (yakni dunia) dan lebih mengutamakan yang lebih agung (yakni akhirat). Artinya, jika dia harus dihadapkan pada satu pilihan, antara dunia dan akhirat, dia harus mencampakkan dunia dan lebih mengutamakan kehidupan yang lebih agung, yakni akhirat. Karena dunia ini fana, sementara yang kekal abadi adalah akhirat.
Oleh H. Luthfi H.
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mewujudkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin

Sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT, Zat Yang Maha Sempurna, Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Allah SWT menegaskan dalam kitab suci-Nya:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ﴾
Kami tidak mengutus kamu [Muhammad] kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (TQS al-Anbiya’ [21]: 107).
Makna rahmat adalah jalbul-mashâlih wa dar’ul-mafâsid (mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan). Ayat di atas menjelaskan bahwa rahmat itu menjadi ghâyah (tujuan) dari pengutusan Rasulullah saw. dengan membawa risalah Islam.
Karena itu menurut Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahu-Llâh, ayat tersebut menjelaskan bahwa tujuan Rasulullah saw. diutus adalah agar risalahnya menjadi rahmat bagi umat manusia. Maknanya, risalah beliau diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan (jalbul mashâlih) bagi manusia dan mencegah kemafsadatan (dar’ul mafâsid) dari mereka (Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/381Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, cet. III, 1426 H/2005 M).
Imam asy-Syaukani menjelaskan, “Wa mâ arsalnâka illâ rahmat[an] lil ‘alamîn bermakna: Kami tidak mengutus kamu, Muhammad dengan membawa syariah dan hukum-hukum, kecuali menjadi rahmat untuk seluruh manusia.” (Imam asy-Syaukani, Fath al-Qadîr).
Dengan demikian, risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. berupa syariah Islam diturunkan untuk menjadi rahmat, yakni mewujudkan kemaslahatan untuk seluruh manusia dan mencegah kemafsadatan dari mereka. Alhasil, sejauh mana kemaslahatan untuk seluruh manusia bisa diwujudkan dan kemafsadatan dari mereka bisa dihindarkan bergantung pada terwujud atau tidaknya syariah Islam di tengah-tengah mereka.
Tampak jelas dari ayat di atas bahwa “menjadi rahmat” (rahmat[an]) adalah tujuan (ghâyah) dari totalitas syariah Islam sebagai satu-kesatuan. Artinya, rahmat yang dimaksud ayat ini tidak terletak pada satu-persatu hukum. Karena itu mewujudkan kemaslahatan (jalbul-mashâlih) dan mencegah kemafsadatan (dar’ul-mafâsid) bukanlah ‘illat (sebab pensyariatan) syariah Islam. Terwujudnya kemaslahatan (jalbul-mashâlih) dan tercegahnya kemafsadatan (dar’ul-mafâsid) merupakan hasil dari penerapan syariah Islam secara kâffah. Dengan kata lain, terwujudnya kemaslahatan untuk seluruh manusia dan tercegahnya kemafsadatan dari mereka merupakan hasil atau konsekuensi dari penerapan syariah Islam secara total.
Karena itu rahmat Islam bagi alam semesta (rahmatan lil ‘âlamîn) merupakan konsekuensi logis dari penerapan Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Rahmat Islam tidak akan terwujud jika Islam hanya diambil sebagai simbol, slogan, asesoris dan pelengkap “penderita” yang lain. Rahmat Islam tidak akan ada jika Islam hanya diambil ajaran spiritual dan ritualnya saja, sementara ajaran politiknya ditinggalkan, dan yang diambil malah paham politik dari Kapitalisme maupun Sosialisme, yang nota bene bertentangan dengan Islam.
Totalitas Islam
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya, dirinya dan sesamanya. Interaksi manusia dengan Tuhannya adalah terkait dengan akidah dan ibadah. Interaksi manusia dengan dirinya ada dalam hal makanan, minuman, pakaian dan akhlak. Syariah Islam dalam hal interaksi manusia dengan Tuhannya dan dirinya sendiri ini bisa dilaksanakan oleh individu. Meski demikian, untuk kesempurnaannya harus ada peran negara di dalamnya. Adapun interaksi manusia dengan sesamanya ada dalam bentuk muamalat dan ‘uqûbat (sanksi/hukuman). Muamalat itu mencakup masalah pemerintahan, ekonomi, pergaulan, pendidikan, politik dalam negeri dan politik luar negeri. Syariah Islam yang mengatur muamalat ini memang sebagian kecil bisa dilaksanakan oleh individu, namun sebagian besar lainnya tidak bisa dilaksanakan kecuali oleh negara. Syariah Islam dalam hal ‘uqûbat meliputi hudûd, jinayat,ta’zîr dan mukhâlafat. Syariah Islam dalam bentuk ‘uqûbat ini harus dilaksanakan oleh negara, tidak oleh kelompok apalagi individu.
Islam yang menghasilkan rahmat adalah yang penerapannya mencakup seluruh syariahnya. Karena itu Allah SWT memerintahkan kita untuk mengambil dan menerapkan Islam secara kâffah, tidak setengah-setengah.
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ﴾
Wahai kaum beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Allah SWT telah menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang sempurna (QS al-Maidah [5]: 3) dan mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia (QS an-Nahl [16]: 89). Karena itu tidak ada yang layak untuk mengatur seluruh aspek kehidupan di masyarakat kecuali adalah Islam dengan syariahnya. Allah SWT berfirman:
﴿…فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً﴾
Jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari akhir. Yang demikian adalah lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya (TQS an-Nisa’ [4]: 59).
Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Tafsîr Ibnu Katsîr) menjelaskan, “Ini adalah perintah dari Allah, bahwa segala perkara yang diperselisihkan oleh manusia, baik perkara pokok (ushûl) maupun cabang (furû’) agama, harus dikembalikan pada al-Kitab dan as-Sunnah, sebagaimana firman Allah (yang artinya): Tentang apapun yang kalian perselisihkan, maka putusan (hukum)-nya dikembalikan kepada Allah (QS asy-Syura [42]: 10).”
Masih terkait ayat tersebut, Ibn Katsir melanjutkan, “Allah SWT berfirman (artinya): jika kalian (benar-benar) mengimani Allah dan Hari Akhir, maknanya: kembalikanlah berbagai perselisihan dan ketidaktahuan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta berhukumlah pada keduanya dalam perkara yang kalian perselisihkan di antara kalian “jika kamu (benar-benar) mengimani Allah dan Hari Akhir. Dengan demikian, siapa yang tidak menyerahkan keputusan hukum tentang obyek perselisihan pada al-Kitab dan as-Sunnah dan tidak kembali pada keduanya dalam hal itu maka dia bukan orang yang benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir.”
Jelas, ayat ini memerintahkan kaum Muslim untuk berhukum pada al-Quran dan as-Sunnah. Itu artinya, kaum Muslim wajib menjadikan syariah Islam sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan dan pemutus perkara dalam segala persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan demikian seluruh kaum Muslim diperintahkan untuk menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Mewujudkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin
Mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin tidak lain dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh dalam sistem yang memang disiapkan untuk menerapkannya, yaitu sistem Khilafah Rasyidah yang telah diamanatkan oleh Rasul saw. dan senantia dijaga serta dilanjutkan oleh para SahabatridhwanulLâh ‘alayhim dan generasi kaum Muslim sesudahnya.
Penerapan syariah Islam secara menyeluruh di bawah sistem Khilafah telah benar-benar terbukti dalam sejarah bisa mewujudkan rahmat untuk seluruh manusia baik Muslim maupun non-Muslim. Will Durant, salah seorang intelektual dan sejarahwan Barat terkemuka memberikan pengakuan atas sejarah emas Khilafah dalam mewujudkan rahmat Islam untuk semua itu, “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durant, The Story of Civilization, vol. XIII).
Mewujudkan Islâm rahmat[an] li al-‘âlamîn secara riil di tengah kehidupan untuk saat ini dan masa datang, sebagaimana yang telah terbukti pada masa lalu dalam seajrah kaum Muslim, tidak lain kecuali dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Hanya dengan itu Islam dan umatnya akan memimpin dunia ke arah kebaikan; membebaskan umat manusia dari perbudakan dan penjajahan oleh sesama manusia; serta menebarkan kebaikan, keadilan dan kemakmuran untuk seluruh manusia. WalLâh a’lam bi ash-shawâb[]
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dunia Ini Membutuhkan Islam, Hanya ISLAM

Realita dunia Islam saat ini sangat terasa bahwa Islam semakin terasingkan bahkan umat muslim sendiri pun banyak yang tak paham mengenai Islam sendiri. Kondisi umat yang saat ini terpuruk dalam krisis multidimensional yang berkepanjangan dan tiada akhir. Kesempitan penghidupan dan moral manusia yang semakin terdegradasi sangatlah jauh dari gelar “khairu ummah” atau umat terbaik yang Alloh sematkan pada umat Islam. Selain karakteristik umatnya, ajaran Islam juga disematkan gelar sebagai Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Tertulis dalam firman Allah Swt:

Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Berdasarkan ayat tersebut, Alloh dengan jelas mendudukkan posisi Islam sebagai “Islam Rahmatan lil ‘Alamin” yang memiliki makna Islam disini hadir untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Islam ada tak hanya sekedar mengatur urusan bagi ummat muslim saja, tetapi ia hadir untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam. Karena pada hakikatnya Islam sendiri merupakan agama yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw untuk mengatur interkasi manusia dengan Tuhannya, dirinya, dan sesamanya.

Islam hadir dengan seperangkat aturannya yang telah Allah buat untuk mengatur kehidupan manusia. Apa-apa yang ada pada Islam sudah Allah rancang untuk menjawab segala problematika umat. Realita sekarang kita terlalu sibuk dengan hal-hal yang semakin memisahkan Islam dengan kehidupan kita (sekulerisme). Hal tersebut membuat kita lupa akan peran Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Manusia menciptakan berbagai macam sistem buatan dengan iming-iming kesejahteraan, tetapi lupa bahwa Allah Swt sudah dengan jelas membuat sistem yang tak ada tandingannya. Islam, tak hanya sekedar agama yang mengajarkan spiritual, tetapi juga membahas persoalan seperti ekonomi, pendidikan, politik, pergaulan, dan lainnya. Dari sinilah kesempurnaan Islam terlihat dan komprehensifnya aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Garis besarnya adalah segala kesejahteraan yang didambakan seluruh umat manusia dapat diwujudkan dalam konsep Islam Rahmatan lil Alamin yang merupakan efek dari diterapkannya syariat Islam, serta Syariat Islam yang kaffah hanya mampu tertuang dalam institusi penerap hukum Islam yakni Khilafah Islam yang mengikuti metode kenabian.

Oleh karena itu, perlu bagi kita menyuarakan Islam kembali. Sama halnya seperti yang dilakukan Rasulullah Saw dan para sahabatnya dengan menebarkan Islam untuk kesejahteraan manusia, alam, dan kehidupan. Ingatlah bahwa seluruh alam telah merindukan Islam untuk hadir kembali. Wallahu a’lam bish-shawab.

Oleh : Risa Assyifa 
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Potret Buram Generasi Dalam Sistem Kapitalisme-Sekuler

Belum lulus sudah mabok alkohol, konvoi di jalanan lalu beradu mulut dengan polisi, bahkan juga ada yang berzina. Naudzubillah.  Demikian serba serbi kelakuan siswa di negeri ini selepas selesai melakukan Ujian Nasional. 

Entah apa maksud siswa siswi tersebut melakukan ragam perilaku buruk tersebut.  Jika dikatakan merayakan tanda kelulusan, lulus juga belum dan  perayaan yang dilakukan juga jauh rasa bersyukur. Jika dikatakan merayakan prestasi, prestasi macam apa yang telah mereka raih.

Semua tindakan tersebut sangat tidak jelas apa maksudnya, jika dilihat dari sudut pandang menusia yang terdidik. Yang jelas, tindakan itu tidak lebih dari pelampiasan eskpresi.  Betapa  pendidikan yang mereka tempuh selama ini adalah beban, sehingga setelah ujian, beban berat pendidikan itu pun usai. Hidup seolah merdeka, lalu dilampiaskan lah dengan berbagai tindakan maksiat. Urusan masa depan, masa bodoh.

Demikian lah salah satu sisi gelap realitas potret buram dunia pendidikan kita. Seperti yang telah diberitakan Republika.co.id tentang perilaku siswa di Jakarta Selatan.  Polisi telah mengamankan 33 siswa dalam keadaan mabuk dan pakaian corat-coret.  "Kita amankan dari tiga lokasi yakni di jalan Pertanian 3 Kelurahan Ps Minggu, Under Pas jalan Raya Pasar Minggu dan jalan Raya Rawa Bambu Ps Minggu," kata Kasubag Humas Polres Jakarta Selatan Kompol Purwanta di Jakarta Jumat, (8/4).

Purwanta mengatakan polisi lantas memeriksa puluhan siswa yang sudah tertangkap itu. Saat diamankan para pelajar ini masih menggunakan seragam sekolah yang dicorat-coret dan dalam keadaan mabuk.

Lain di Jakarta lain lagi di Medan, siswa-siswi  setelah selesai Ujian Nasional, mereka  konvoi di jalan kota Medan, lantas diberhentikan polisi, kemudian terjadi adu mulut antara Polwan dengan siswi yang mengaku anak Jenderal.

Sebagaimana yang diwartakan Merdeka com., aksi konvoi para pelajar usai mengikuti ujian nasional (UN) di Medan, Rabu (6/4) sore, diwarnai tindakan arogan dari seorang siswi. Selain melanggar aturan lalu lintas bersama temannya, dia mengancam perwira Polantas.

Saat itu, mobil Honda Brio hitam bernomor polisi BK 1428 IG melintas dengan pintu belakang terbuka ke atas. Mobil yang ditumpangi 7 siswi dengan seragam berlogo SMA Methodist I itu dihentikan seorang Polwan, Ipda Perida Panjaitan. Namun, para siswi yang turun dari mobil itu protes. Mereka tidak senang karena banyak mobil lain yang melanggar aturan namun hanya mereka yang dihentikan. "Itu ada mobil merah di depan, kenapa cuma kami yang dihentikan," protes mereka.

Polwan dan dua Polantas lain menyatakan akan menindak dan membawa mobil itu ke kantor Satlantas Polresta Medan. Seorang siswi berambut panjang langsung emosi. "Oh oke, mau dibawa? Siap-siap kena sanksi turun jabatan ya. Aku juga punya beking," ucap siswi itu dengan nada tinggi.

Dia pun terus marah-marah dan menunjuk-tunjuk Polantas yang menghentikannya. "Oke Bu ya, aku nggak main-main ya Bu. Kutandai Ibu ya. Aku anak Arman Depari," ucapnya.

Bisanya siswa atau siswi yang ngaku-ngaku anak pejabat, bapaknya orang gedongan, kalau ngomong dibumbui dengan "pembantu akyu" acapkali kita lihat di sinetron murahan TV negeri ini. Namun rupanya kali ini langsung diperankan oleh siswi di Medan tersebut. Naas, orang tua asli --siswi tukang ngibul ini-- dikabarkan meninggal karena malu dan shok berat mendengar kabar perilaku anaknya.

Lebih miris lagi, siswa-siswi  di Kendal Jawa Tengah malah melakukan hubungan seksual selang beberapa saat setelah selesai melakukan Ujian Nasional. Sepasang siswa SMU melakukan hubungan seksual selepas melaksanakan ujian nasional di sebuah hotel yang berlokasi di Obyek  Wisata Pantai Muara Kencan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Kamis (16/4/2015). Pelajar kelas 3 jurusan perawat ini ditangkap oleh Satpol PP Kabupaten Kendal bersama kekasihnya yang merupakan siswa kelas 2 SMA swasta di Kendal di kamar nomor 2 di penginapan tersebut.(Kompas.com). Kepala Satpol PP Kabupaten Kendal, Toni Ari Wibowo mengatakan, dalam razia ini, terjaring sekitar 20 orang dan mayoritas adalah pelajar.

Serba serbi perilaku  siswa selepas Ujian Nasional di atas menjadi gambaran ambigu dan tidak jalasnya produk pendidikan Nasional kita. Jika tidak dikatakan gagal secara sistemik.

Pada kenyataannya,  yang mendidik perilaku dan sikap siswa kita ternyata adalah sinetron di TV. Kita sering saksikan, bahwa sinetron di TV tidak jarang memang mengisahkan keadaan anak sekolahan. Namun jarang sekali yang ditampilkan tentang perilaku layaknya seorang pelajar.

Yang ada tentang hidup hidonis, permisif, pacaran, berebut pasangan, geng perempuan memperebutkan cowo ganteng, gaya-gaya-an kekayaan, gambaran enaknya terlahir dari bonyok (bokap dan nyokap) kaya raya, dan tayangan-tayangan lain yang sangat tidak mendidik. Tapi nyatanya itulah yang “mendidik” dan  menjadi patokan pola sikap siswa-siswi kita. Lantas apa yang akan diharapkan dari generasi suka mabok? Suka hura-hura dan ingin enaknya saja?

Jika ditelisik dengan cermat, bahwa siswa-siswa dengan perilaku demikian adalah hasil dari sistem pendidikan kita yang semakin sekuler. Selain pendidikan yang kian mahal, sistem pendidikan kita selama ini terkesan hanya sibuk dengan gonta-ganti kurikulum.

Dari aspek kurikulum, sistem pendidikan sekuler telah menceraikan nilai nilai aqidah agama --Islam-- dari perilaku peserta didik. Pelajaran agama Islam yang dalam seminggu cuma 2 jam jauh dari memberikan pengaruh perilaku positif pada siswa didik. Pengajaran agama sangat kering.


Tidak heran hasil Didik dari siswa pun memiliki Kepribadian yang pecah. Akhlak, keilmuan dan keterampilan pun serba tanggung. Ilmu seringkali juga tidak diraih, sementara perilaku yang terwujud juga tidak karuan.

Pendikan sejatinya berfokus pada memberikan pondasi aqidah untuk perilaku dan kepribadian. Kemudian diraihnya Ilmu, keterampilan, dan keahlian untuk bisa eksis dalam kehidupan. Karena kedua persoalan inilah yang menjadikan manusia lebih bermanusia.

Islam sebagai sebuah sistem kehidupan betapa memberikan pola pendidikan yang sangat komprehensip kepada manusia.

Politik pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk keperibadian Islam  (Syakhshiyyah Islamiyyah) dan memberikan keterampilan atau keahlian –sesuai dengan level—pendidikan yang ditempuh seorang peserta didik.

Keperibadian Islam dibentuk dengan menanamkan aqidah Islam dan tsaqafah Islamiyyah. Serangkaian pengetahuan ini diberikan di setiap level pendidikan.

Segala pelajaran --umum-- tidak akan pernah dikosongkan dari pemahaman dasar tentang aqidah Islamiyyah, untuk menancapkan pembentukan pola pikir yang khas. Pelajaran umum seperti Biologi, Fisika, Kimia, dan lain sebagainya sarat akan nilai-nilai ruh. Bahwa siswa diajak berpikir tentang fenomena dibalik segala pengetahuan yang didapatkannya. Firman Allah;

(إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ)

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ali Imran 190).

Sementara pola sikap dalam sistem pendidikan Islam secara praktis dengan memberikan pelajaran fiqih yang bersifat praktis. Termasuk dalam pelaksanaannya, hukum-hukum Islam tentang pergaulan laki-laki dan perempuan langsung diintegrasikan dan diterapkan dalam sistem pendidikan.

Ilmu seni dalam Islam tidak bebas nilai, dan dijauhkan dari eksploitasi nilai nilai jinsiyyah (semata nilai-nilai kelaki-lakian dan keperempuanan) seperti paradigma Barat.

Sementara tsaqafah asing, diperbolehkan diajarkan (untuk mengkritisi dan membongkar kebusukan nya), setelah peserta Didik memiliki kepribadian yang kuat.

Berikutnya, sistem evaluasi. Pendidikan Islam memiliki filosofi dan bertumpu pada pembentukan keperibadian. Sehingga keberhasilan pendidikan yang pertama adalah terbentuknya Kepribadian Islamiyyah, pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan syari'ah Islam. Evaluasi pendidikan tidak mengandalkan pada secarik kertas nilai ujian.

Sementara sisi keilmuan dan keterampilan, ijazah akan langsung diberikan oleh utadz yang mengajarkan di setiap level pendidikan. Kesempurnaan penguasaan ilmu dan keterampilan adalah menjadi titik tumpu pemberian ijazah. Sehingga, seorang peserta Didik tidak dibatasi dengan ukuran waktu untuk menguasai sebuah keterampilan atau ilmu.

Semua biaya pendidikan dalam Islam ditanggung oleh negara, karena hal ini merupakan bentuk pelayanan dasar Khalifah atas umat. Peserta didik pun akan "menikmati" proses penjatidirian manusia ini dengan sempurna. Semua dilakukan atas dasar semua ini adalah kewajiban.

Oleh H. Luthfi H.
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Rezeki BUKAN hanyal Uang dan Kekayaan

Kadang-kadang kita merasa bahwa hidup tidak berpihak pada kita. Semua terasa sulit, uang terbatas sementara kebutuhan banyak. Tidak dapat hidup dan menghidupi keluarga dengan layak karena tidak punya pekerjaan yang bergaji besar. Merasa rezeki semakin menjauhi hidup kita.

Tapi betulkah rezeki hanya melulu soal uang dan kekayaan? Tentu saja tidak! Allah Maha Kaya dan rezekinya sangat luas meliputi seluruh langit dan bumi, tinggal kita yang pandai-pandai melihat dan memaknai rezeki kita, diantaranya:

Jika tidak dikaruniai rezeki berupa anak mungkin kita dikaruniai mertua yang baik, suami yang penyayang, maka harusnya  kita lebih bahagia dibanding mendapatkan anak yang liar dan sumber masalah.

Jika kita tidak dikaruniai anak yang bertubuh normal, harusnya kita bahagia karena membesarkan anak yang cacat akan menjadi ibadah buat kita, dibanding orang yang tidak dikaruniai anak sebagai penceria rumah tangganya.

Jika tidak dikaruniai rezeki berupa harta kekayaan, mungkin kita dikaruniai rezeki kesehatan yang baik, badan yang jarang sakit, maka harusnya kita lebih bahagia karena bisa beraktivitas dengan baik dibanding orang yang punya harta melimpah tapi harus terbaring di rumah sakit.

Jika tidak dikaruniai rezeki berupa mobil mewah mungkin kita dikaruniai kendaraan sederhana seperti sepeda yang tidak membutuhkan biaya mahal dan lebih sehat. Harusnya kita lebih bahagia dibanding pejalan kaki.

Jika tidak dikaruniai rezeki berupa rumah yang besar mungkin diberikan rezeki berupa makanan yang tidak pernah kurang, harusnya kita lebih bahagia daripada si gelandangan yang tidur di emperan toko.

Jika tidak dikaruniai suami gagah, tegap yang bergaji besar mungkin diberikan rezeki suami saleh yang bisa menjadi imam, ayah dan pembimbing yang baik bagi keluarga, harusnya kita lebih bahagia karena terselamatkan dari kerisauan memikirkan suami tampan dari fitnah.

Jika tidak dikaruniai rezeki berupa istri yang cantik mungkin diberikan rezeki istri saleh, setia, penyayang, taat pada suami dan pandai mengurus rumah tangga, harusnya  kita lebih bahagia terselamatkan dari kerisauan menjaga istri cantik dari pandangan tak pantas laki-laki lain.

Jika tidak dikaruniai rezeki berupa jodoh mungkin kita diberi orang tua yang berumur panjang maka harusnya kita lebih bahagia karena bisa berbakti lebih lama dan lebih sepenuh hati pada orang tua.

Dan masih banyak lagi nikmat yang telah diberikan kepada kita. Allah SWT berfirman:

وَءَاتٰىكُمْ مِّنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ  ۚ  وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ  ۗ  إِنَّ الْإِنْسٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). [QS. Ibrahim: Ayat 34]

Begitu banyak hal yang bisa disyukuri asal kita mau membuka mata dan hati kita atas semua nikmat yang telah diberi Allah. Kita harus yakin bahwa Allah tahu apa yang terbaik buat hambaNYA.

Wallahu a'lam.
Abu Miqdam
Komunitas Akhlaq Mulia
readmore »»  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS