Ciyus Miapah Tanda Zaman
Ciyuuus….miapah. Dua kata ini mendadak begitu sangat populer beberapa bulan terakhir. Mulai dalam bahasa pergaulan sehari-hari hingga iklan sebuah produk telekomunikasi. Bak sebuah virus, bahasa alay semacam itu telah menular ke mana-mana. Tak hanya dipakai ABG, tapi juga ’’ABG’’ tua.
Fenomena apakah itu? Akankah hal itu dapat merusak bahasa Indonesia? Esais Goenawan Mohamad mengatakan, bahasa bukanlah benda mati yang tak berkembang. Bahasa, bersama kata dan gaya di dalamnya, adalah sesuatu yang hidup dan berproses bersama masyarakat. Dalam konteks ini, bahasa adalah cermin dari masyarakat itu sendiri.
Dengan sendirinya, bahasa dan kata akan selalu muncul sebagai bentuk ekspresi dari sebuah entitas sosial bernama masyarakat. ’’Masyarakat tidak bisa dibayangkan hanya sebagai sebuah konsensus, tetapi juga sebagai arena persaingan, bentrokan dan sisih menyisihkan. Bahasa mencerminkan itu semua.
Selalu akan muncul bahasa sebagai rangkaian kata atau cara ekspresi baru, berbeda, berubah dari yang sudah ada,’’ beber GM, sapaan Goenawan Muhamad. Berdasar latar semacam itu, secara alamiah akan selalu ada elemen sosial dalam masyarakat yang tak sepenuhnya merasa terwakili, bahkan dihitung, dalam percapakan.
Pada akhirnya, bahasa slang, prokem, bahasa para remaja, hingga bahasa atau kata yang kemudian merujuk entitas sosial tertentu seperti miapa-ciyus, cyin-nek-cong, bro-brai. Miapah-ciyus pada mulanya lazim digunapakaikan mereka yang berkutat di media sosial, cyin-nek-cong oleh para pekerja salon, bro-brai di kalangan urban perkotaan.
’’Bahasa prokem, slang, bahasa remaja ada di mana-mana. Kalaupun ada yang risau dengan keadaan itu, dengan alasan yang bagus sekalipun, tidak mungkin ada yang bisa melenyapkannya,’’ terang GM. Pakar Bahasa dari Universitas Indonesia Prof. Multamia RMT Lauder mengatakan, fenomena bahasa alay merupakan sesuatu yang natural dan selalu muncul.
Indonesia memiliki bahasa resmi atau baku. Lalu ada bahasa tidak baku untuk berbicara. ’’Itu yang biasa kita gunakan sehari-hari. Akan tetapi dalam kita bekerja ada bahasa yang digunakan untuk profesi tertentu,’’ katanya. Mia, sapaan Multamia RMT Lauder mengatakan, ada 3 jenis bahasa yang biasa digunakan.
Pertama, jargon, bahasa yang digunakan profesi tertentu. Misalnya jargon politik dan jargon ekonomi. ’’Itu istilah atau pilihan kata untuk profesi tertentu. Dalam bahasa ada kelompok profesi yang pakai bahasa tertentu dan hanya dimengerti kelompok mereka,’’ ujarnya.. Kedua, kata Mia, argot.
Sejenis jargon tapi khusus untuk profesi yang buruk. Seperti pencuri. Ketiga, slank. ’’Bahasa alay itu masuk sebagai slank. Jadi beda sama jargon dan argot. Misalnya ada kelompok tertentu pakai kosakata ini atau itu untuk menunjukkan kesetiakawanan dan jatidiri kelompok,’’ papar Mia.
Kata Mia, kehadiran bahasa alay tidak akan menggeser Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia terdiri atas 4 macam. Tulis formal, tulis lisan, tulis nonformal, dan lisan nonformal. Grup alay berada di kelompok lisan tidak formal. Karena itu, dinamikanya cukup tinggi. Bisa silih berganti dengan cepat.
Budayawan Radhar Panca Dahana menambahkan, bahasa alay bukan awal pembentukan budaya baru. Kemunculannya hanya karena kebutuhan sekelompok orang saja untuk menciptakan eksklusivitas. "Jadi penanda bahwa mereka sebuah kelompok atau komunitas tersendiri. Bisa pula untuk menyampaikan pesan-pesan rahasia orang atau kelompok tertentu tidak boleh tahu," urainya.
Sementara itu, budayawan dari UI Devie Rahmawati mengemukakan, dalam fenomena bahasa alay ini, dia melihat suatu ironi yang agak komikal, yaitu fungsi identitas bahasa akhirnya mengkhianati fungsi komunikatifnya. Bahasa alay sangat sulit untuk dipakai berkomunikasi karena tak memiliki konvensi jelas dan distrukturkan secara sangat subjektif oleh para pengucapnya.
’’Katakan saya seorang yang tradisional, tetapi bagi saya betapapun pentingnya fungsi identitas dari bahasa, ia tak boleh sampai mengeliminasi fungsi komunikasinya,’’ kata dia. Dia mencontohkan film-film yang digarap penulis script yang terlatih.
Dialog antara orang-orang dari latar sosial berbeda yang memiliki artikulasi berbeda-beda (kulit hitam, Jepang, bule, latin) tergarap dengan mudah dimengerti oleh penontonnya. Namun pada saat sama tetap menunjukkan kekhasan cara berbahasa suatu kelompok.
Bahasa Indonesia Tak Hilang
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud Mahsun mengatakan, semua bahasa di dunia sama. Dialek dan subdialek pasti ada. Hal itu muncul karena mencerminkan masyarakat yang homogen. ’’Yang terjadi pada bangsa kita dibiarkan saja. Yang penting kita ada bahasa standar resmi.
Selama kita paham kapan ragam resmi dan varian dipakai tidak masalah,’’ ujar Mahsun di Jakarta, kemarin. Mahsun menambakan, fenomena bahasa alay memang menarik. Sejak reformasi, muncul celah bahasa gaul yang tidak didasari pilihan kata yang tepat. Baginya, kondisi sekarang mencerminkan betapa longgarnya norma hubungan sesama.
Bagaimana memilih kata. ’’Bahasa Indonesia ada varian geografis. Bahasa Indonesia di Batak dan Sumbawa beda. Kita biarkan saja tumbuh. Yang penting ada bahasa standar,’’ ujar Mahsun. Menurutnya, bahasa alay bukan sekadar kebebasan. Melainkan identitas. Sejak dulu, sudah ada kata-kata tersebut. Hanya saja bentuknya berbeda.
"Mereka ingin menunjukkan identitas yang beda. Sarana komunikasi internal kelompok itu. Bisa dibilang juga bahasa rahasia yang tidak boleh diketahui kelompok lain," tegasnya. Masih kata Mahsun, munculnya bahasa alay tidak akan mampu menghapus Bahasa Indonesia. Bahkan, adanya bahasa resmi negara tersebut menjadi alat pengerem varian baru agar tidak berlebihan.
0 komentar:
Posting Komentar